twitter
rss

Pendidikan Berbasis Kompetensi Kebijakan pemerintah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sesuai dengan PP Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, khususnya bidang pendidikan dan kebudayaan yang menyatakan bahwa wewenang pemerintah pusat diantaranya adalah penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Ketentuan ini memberi wewenang pemerintah untuk menetapkan standar kompetensi untuk semua jenjang pendidikan. Pemberlakuan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi pendidikan menuntut adanya upaya pembagian kewenangan dalam berbagai bidang pemerintahan. Hal tersebut membawa implikasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembngan dan pelaksanaan kurikulum. Dalam hal ini ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1. Diversifikasi kurikulum yang merupakan proses penyesuaian, perluasan, pendalaman materi pembelajaran agar dapat melayani keberagaman kebutuhan dan tingkat kemampuan peserta didik serta kebutuhan daerah setempat dengan berbagai kompleksitasnya. 2. Penetapan standar kemampuan, dimaksudkan untuk menetapkan ukuran minimal atau secukupnya mencakup kemampuan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dilakukan, dan dimahirkan oleh peserta didik pada setiap tingkatan secara maju dan berkelanjutan sebagai upaya kendali dan jaminan mutu. 3. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi merupakan pijakan utama untuk lebih memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan potensi daerah yang bersangkutan. Untuk merespon ketiga hal tersebut di atas, Depdiknas telah melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran di SMU, yang mencakup komponen: 1. Standar Kompetensi peserta didik, merupakan ukuran kemam¬puan minimal yang mencakup kemampuan, pengetahuan, ke¬terampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan. 2. Kompetensi dasar, merupakan penjabaran standar kompetensi peserta didik yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan standar kompetensi peserta didik. 3. Standar Materi Pokok, adalah hal yang esensi dalam suatu mata pelajaran, yang dapat berupa bidang ajar, gugus isi, proses, keterampilan, atau konteks keilmuan suatu mata pelajaran. 4. Indikator Pencapaian, merupakan indikator pencapaian hasil belajar berupa kompetensi dasar yang lebih spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran. Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Istilah pendidikan berbasis kompetensi digunakan di Australia, sedang Amerika Serikat menggunakan istilah pendidikan berbasis standar. Kedua istilah ini memiliki makna yang sama, yaitu pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki lulusan suatu jenjang pendidikan. Kom¬petensi lulusan dijabarkan berdasarkan pada tujuan pendidikan nasional. Pada Bab II Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional harus tercermin pada kurikulum dan sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut mensejahterakan masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta berprilaku yang baik. Untuk itu peserta didik harus mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kompetensi lulusan, yaitu kemampuan yang harus dimiliki peserta didik, selanjutnya dijabarkan menjadi standar kompetensi peserta didik dalam mata pelajaran. Acuan yang digunakan untuk menurunkan kemam¬puan lulusan menjadi sejumlah standar kompetensi peserta didik dalam mata pelajaran adalah: 1) kemampuan lulusan, 2) struktur keilmuan mata pelajaran, 3) perkembangan psikologi peserta didik, 4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, 5) kebutuhan masyarakat. Jadi lima acuan ini menjadi dasar pengembangan standar kompetensi peserta didik. Standar kompetensi peserta didik dikembangkan oleh para pakar bidang studi, pakar pendidikan bidang studi, serta pakar psikologi perkembangan. Standar kompetensi yang diperoleh selanjutnya divalidasi oleh pakar dari perguruan tinggi lain serta para guru-guru dari sejumlah sekolah dengan memperhatikan peringkat sekolah. Dalam satu mata pelajaran dan dalam satu jenjang pendidikan bisa terdapat 6 sampai 15 standar kompetensi, tergantung kompleksitas dan luas cakupan mata pelajaran. Kompetensi lulusan yang berupa kemampuan yang dimiliki lulusan dicirikan dengan pengetahuan, ketrampilan, dan prilaku yang dapat ditampilkan. Kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena itu, penerapan pendi¬dikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat regional, nasional, dan global. Standar kompetensi cakupannya luas dan kata kerja yang digunakan bisa operasional dan bisa tidak. Untuk memudahkan guru dalam mengembangkan silabus, standar kompetensi diuraikan menjadi kompentesi dasar. Kompetensi dasar memiliki cakupan materi yang lebih sempit, dan menggunakan kata kerja operasional yang mudah diukur. Tiap kompetensi dasar bisa diuraikan menjadi tiga atau lebih indikator. lndikator ini merupakan acuan dalam menentukan jenis tagihan, yaitu bisa berupa ulangan, tugas-tugas, kuis, kuesioner, inventori, dan sebagainya. Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah pe¬ngembangan silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedang sistem penilaian berbasis kompetensi mencakup jenis tagihan, dan bentuk soal. Jenis tagihan adalah berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas, tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan peserta didik. Bentuk soal terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh peserta didik, seperti bentuk isian singkat, pilihan ganda, uraian, objektif, uraian non objektif, dan sebagainya. Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam menentukan dan mengembangkan silabus dan sistem penilaiannya berdasarkan standar kompetensi peserta didik yang disusun pemerintah. Agar penentuan silabus dan sistem penilaiannya dapat dilakukan dengan baik diperlukan pedoman. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendi¬dikan Menengah Umum perlu menyiapkan pedoman penyusunan silabus serta sistem penilaiannya. Paradigma pendidikan berbasis kompetensi mencakup kurikulum, pedagogi, dan pengujian, menekankan pada standar atau hasil (Wilson, 2001). Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan mengajar, sedangkan tingkat keberhasilan belajar yang dicapai peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian, yang mencakup ujian, tugas-tugas, dan pengamatan. Pengembangan sistem penilaian hasil kegiatan pembelajaran berbasis kompetensi bersifat hierarkhis, secara berurutan yaitu: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, dan instrumen penilaian. Standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok dikembangkan oleh Balitbang Departemen Pendidikan Nasional, sedang indikator dan penentuan instrumen penilaian dikembangkan oleh masing-masing daerah atau sekolah. Balitbang Depdiknas hanya memberi beberapa contoh indikator pencapaian. Dengan demikian diharapkan soal ujian yang digunakan akan menampung keperluan daerah sesuai dengan karakateristiknya masing-masing. Selain itu sumber daya manusia di semua daerah akan diberdayakan, sehingga semuanya tidak tergantung pada Departemen Pendidikan Nasional di pusat. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam mengelola proses pembelajaran, dan lebih khusus lagi adalah pro¬ses pembelajaran yang terjadi di kelas. Sesuai dengan prinsip otonomi dan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, pelaksana pembe¬lajaran dalam hal ini guru harus diberi keleluasaan dalam menentukan silabus dan memilih strategi pembelajaran dan sistem penilaiannya. Bagi sekolah yang mampu diharapkan dapat menetapkan silabus, memilih strategi pembelajaran, serta sistem penilaiannya dengan disediakan pedoman, sedang bagi yang belum mampu diberi pedoman serta contoh silabus dan sistem penilainnya. Untuk itu perlu dibuat buku pedoman cara mengembangkan silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi. Baik pedoman pengembangan silabus maupun pedoman pengembangan sistem penilaian ada dua macam, yaitu pedoman umum dan pedoman khusus. Pedoman umum pengembangan sistem penilaian memberi penjelasan secara umum tentang prosedur dan cara mengembangkan kompe¬tensi dasar menjadi indikator, dan mengembangkan indikator menjadi berbagai bentuk tagihan. Pedoman khusus menjelaskan lebih rinci ten¬tang prosedur dan cara mengembangkan kompetensi dasar menjadi indikator pencapaiannya, dan mengembangkan indikator menjadi berba¬gai bentuk tagihan, seperti soal ujian, tugas-tugas, kuis, kuesioner, inventori, portfolio, dan sebagainya. Hasil kegiatan belajar peserta didik yang berupa kemampuan kognitif dan psikomotor ditentukan oleh kondisi afektif peserta didik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir, yaitu yang menurut taksonomi Bloom (Sax, 1980), secara hierarkhis terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Peserta didik yang tidak berminat dalam suatu mata pelajaran tidak dapat diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu tugas guru adalah membangkitkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran. Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. Pada tingkat pemahaman, peserta didik dituntut untuk menyatakan masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh suatu prinsip atau konsep. Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam suatu sistuasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi, membedakan fakta dan pendapat, dan menemukan hubungan sebab akibat. Pada tingkat sintesis, peserta didik dituntut menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis, atau teorinya sendiri, dan mensintesiskan pengetahuan. Pada tingkat evaluasi, peserta didik mengevaluasi informasi, seperti bukti sejarah, editorial, teori-teori, dan termasuk di dalamnya melakukan judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan. Kemampuan psikomotor pada mata pelajaran tertentu di SMA (Sekolah Menengah Atas) dapat dikembangkan. Kemampuan tersebut misalnya dalam bentuk gerak adaptif atau gerak terlatih (adaptive move¬ment), baik keterampilan adaptif sederhana (simple adaptive skill), keterampilan adaptif gabungan (compound adaptive skill), keterampilan adaptif kompleks (complex adaptive skill), maupun keterampilan komunikasi berkesinambungan (non-discursive communication), yaitu baik gerak ekspresif (expressive movement) maupun gerak interpretatif (inter¬pretative movement) (Harrow, 1972). Keterampilan adaptif sederhana dapat dilatihkan dalam berbagai mata pelajaran, seperti bentuk keteram¬pilan pemakaian peralatan laboratorium. Keterampilan adaptif gabungan dan keterampilan adaptif kompleks, juga keterampilan komunikasi berke¬sinambungan baik gerak ekspresif maupun gerak interpretatif dapat dilatihkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kesenian dan Pendidikan Jasmani. Kondisi afektif peserta didik tidak dapat dideteksi dengan tes, tetapi dapat diperoleh melalui angket, inventori, atau pengamatan yang sistematik dan berkelanjutan. Sistematik berarti pengamatan mengikuti suatu prosedur tertentu, sedang berkelanjutan memiliki arti pengukuran dan penilaian dilakukan secara terus menerus. Berkelanjutan dalam hal ini berarti pengukuran ranah kognitif, afektif, dan psikomotor dilakukan secara serempak serta terus menerus dan berkesinambungan hingga peserta didik menguasai kompetensi dasar. Jadi sistem ujian berkelan¬jutan memiliki makna bahwa ujian yang digunakan mengukur semua kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik, yaitu yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, dan dilakukan secara serempak dan berkelanjutan. Hasil ujian atau pengamatan harus dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial atau pengayaan. Hasil analisis berupa daftar kompetensi dasar yang belum dikuasai peserta didik dan yang telah dikuasai peserta didik. Sesuai dengan ketentuan, pemerintah hanya menentukan kemampuan lulusan, standar kompetensi, dan kompetensi dasar. Sekolah mengembangkan silabus dan sistem penilaian dengan mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk itu itu diperlukan pedoman umum dan pedoman khusus untuk mengembang¬kan silabus dan sistem penilaiannya. Jadi ada dua pedoman umum yang diperlukan, yaitu pedoman umum pengembangan silabus dan pedoman umum pengembangan sistem peni¬laian. Selain itu diperlukan pedoman khusus pengembangan silabus dan sistem penilaian untuk tiap mata pelajaran dalam satu buku. BERSAMBUNG........



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

March 30, 2011 Sesuai keputusan rapat Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai tenaga honorer yang berlangsung Jumat (25/3/2011), DPR menyetujui bahwa upah tenaga honorer yang terdaftar di bawah tahun 2005 akan disamakan dengan gaji PNS terendah. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, saat ini DPR dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi sedang menyelesaikan tenaga honorer di bawah tahun 2005, yang belum diangkat menjadi CPNS. Menurutnya, jumlah tenaga honorer di bawah tahun 2005 yang ada di Indonesia mencapai lebih dari 600.000. Seluruh honorer tersebut tidak langsung dinaikkan statusnya menjadi CPNS. “Hanya yang lolos verifikasi yang berhak menjadi CPNS,” ujarnya kepada Kontan, Senin (28/3/2011). Pasalnya, tenaga honorer yang mencapai 600.000, ada yang tidak bisa memenuhi persyaratan, seperti umur dan bidang pekerjaan mereka yang tidak sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Sesuai kebutuhan formasi, maka dari 600.000 tenaga honorer, setiap tahun hanya diambil sebesar 30 persen. Seleksi pengisian kuota berlangsung mulai 2012 sampai 2013. “Dari 600.000 honorer di bawah tahun 2005, yang akan diangkat CPNS berarti hanya 60 persen atau 360.000 orang,” ungkap anggota Fraksi Golkar ini. Upah tenaga honorer yang selama ini diberikan sesuai kebijakan daerah, hal itu tidak akan terjadi lagi setelah RPP diterbitkan. Sebab, tenaga honorer di bawah tahun 2005 yang masih tercecer dan tidak lolos menjadi CPNS pada tahun 2012 atau 2013 mendatang, upah mereka akan disesuaikan dengan gaji PNS yang paling rendah. Namun, penetapan upah tersebut tidak berlaku untuk tenaga honorer di atas tahun 2005. Hal itu mengacu pada PP 48 Tahun 2005 bahwa sudah tidak ada lagi penerimaan tenaga honorer di daerah. Meskipun di daerah masih ada tenaga honorer yang bekerja di atas 2005, kebijakan upah sesuai gaji pegawai negeri sipil terendah tetap tidak berlaku. Rencananya, RPP tenaga honorer selesai dalam waktu dekat ini. Untuk tenaga honorer yang di atas tahun 2005, bisa menjadi CPNS asalkan dengan mengikuti seleksi CPNS umum. Basuki menyatakan, DPR sedang berunding dengan pemerintah agar 600.000 tenaga honorer yang tersisa bisa diangkat seluruhnya. “Sedang dikaji dulu usulan DPR tersebut,” ujar Sekretaris Kementerian PAN Tasdik Kinanto.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

April 16, 2011 admin 5 Comments Pengangkatan Tenaga Honorer (TH) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) saat ini menjadi isu utama dalam rekrutmen CPNS. Namun banyak sekali penafsiran yang berbeda terkait proses kebijakan pengangkatan TH menjadi CPNS tersebut. Hal ini menimbulkan banyak permasalahan mulai dari penentuan kriteria Kategori baik I maupun II, kapan waktu pendataan, kapan pengumuman hasil verifikasi dan validasi, hingga penipuan oleh oknum terkait pengangkatan TH menjadi CPNS. Mengingat akhir-akhir ini banyak pertanyaan mengenai TH, Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Budi Hartono menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: Pertama; TH yang dapat diangkat menjadi CPNS adalah TH yang memenuhi syarat kumulatif sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 48 Tahun 2005 jo PP Nomor: 43 Tahun 2007. Kedua; Pada 28 Juni 2010, Kementerian PAN dan RB mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 05 TAHUN 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah yang tercecer atau tertinggal pada pendataan 2005 sepanjang masih memenuhi kriteria PP tersebut di atas. Dalam SE 05 Tahun 2010 pendataan TH ini terbagi dalam Kategori I (K I) dan Kategori II (K II). Pendataan dilakukan oleh masing-masing instansi pengelola kepegawaian dengan batas akhir penyerahan data ke BKN untuk K I pada 31 Agustus 2010 sedangkan K II pada 31 Desember 2010. Ketiga; Yang membedakan antara K I dengan K II yakni K I merupakan TH yang penghasilan/upah/gajinya diabiayai dari APBN/APBD sedangkan K II dibiayai dari Non- APBN/Non-APBD (BP3, dana Komite Sekolah, dll.). TH untuk dapat diangkat menjadi CPNS harus memenuhi kriteria, yakni : 1. Bekerja di instansi pemerintah, 2. Diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), atau Pejabat lain yang mempunyai otoritas, 3. Usia minimal 19 tahun dan maksimal 46 tahun pada 1 Januari 2006, 4. Sumber pembiayaan upah, gaji, penghasilan bersumber dari APBN/APBD (untuk K I) 5. Memiliki masa kerja minimal satu tahun per 31 Desember 2005 dan masih bekerja terus-menerus dengan tidak terputus sampai saat ini. Semua kriteria tersebut merupakan persyaratan kumulatif, maksudnya apabila tidak terpenuhi salah satu persyaratan yang dimaksud, maka TH tidak bisa diangkat menjadi CPNS. Keempat; Terhadap data K I sudah dilakukan proses Verifikasi dan Validasi oleh Tim Nasional dengan sebutan Memenuhi Kriteria (MK) dan Tidak Memenuhi Kriteria (TMK). Hasil Verifikasi dan Validasi akan diumumkan setelah ditetapkannya PP terkait TH sebagai dasar pengangkatan menjadi CPNS oleh Pemerintah. Terhadap data K II yang sudah diterima BKN, belum ada kebijakan yang diambil karena menunggu regulasi lebih lanjut. Kelima; Apabila PP tetang TH telah ditetapkan, bagi yang dinyatakan MK untuk dapat diangkat menjadi CPNS masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Keterangan Sehat dari Dokter, Surat Keterangan Bebas Narkoba, dll. Keenam; Untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut tentang pengangkatan TH menjadi CPNS dapat dilihat di website MenPAN&RB (www.menpan.go.id) dan BKN (www.bkn.go.id dan www.sesmabkn.com) Ketujuh; Himbauan kepada seluruh masyarakat untuk mewaspadai segala bentuk penipuan yang terkait pengangkatan TH menjadi CPNS oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Apabila ada informasi yang meragukan terkait TH, untuk konfirmasi dapat menghubungi Humas BKN telp/fax. 021-80882815.(



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer